SELAMAT DATANG DI BLOG TEGUH TETAP TANGGUH, SEMOGA BERMANFAAT. JANGAN LUPA BERIKAN KOMENTAR ANDA

MASIHKAH TERSISA ASA ITU?

 MASIHKAH TERSISA ASA ITU?

Di tengah kegaduhan kendaraan baja berasap tebal itu, masih ada jiwa-jiwa yang hening. Jiwa yang resah dan pongah menatap sebuah kisah di sebuah kota antah berantah yang tak tentu arah. Masih terbesit kuat dalam benak Dimas saat itu. Entah terlalu dini atau memang Dimas belum siap untuk menjadi seseorang pengajar. Diusianya yg ke-21, disela-sela menunggu topi baja itu dipakai dan diresmikan oleh sang Rektor salah satu Universitas Negeri di Semarang, Dimas mendapatkan tawaran mengajar sekaligus di dua tempat dalam waktu yang sama. tentu saja rasa bahagia dan girang yang  ia dapatkan. Allah begitu mudahnya membukakan pintu rezeki mekipun Dimas belum lulus sarjana Pendidikan.

Hari pertama ia lalui di SMA W yang notabene adalah tempatnya magang pada waktu masih kuliah. Di hari pertamanya menginjakkan tempat bekerja, Dimas merasakan jantungnya berdegub tak karuan. Karena Dimas bukan berhadapan dengan siswa TK atau SD yang mau saja di suruh ini itu dan diminta kesana kemari. Ini adalah siswa yang sudah mulai beranjak dewasa dengan segala ego dan keinginan untuk mendapatkan kebebasannya yang besar.  Tapi pikiran itu harus ia buang jauh-jauh karena sudah bulatkan niat untuk menjalani semua ini. Hari pertama harus dilalui dengan sering menghembuskan nafas panjang dan menggelengkan kepala. Ternyata memang sulit menjadi guru yang usianya terpaut tidak jauh dengan siswa.

Hari kedua pun terlewati dengan tetap menggelengkan kepala. Mereka begitu sulit untuk dikondisikan. Bahkan mereka cenderung tak mau menerima Dimas. Dimas pun berputar otak dan dia tau bahwa semua ini harus tetap ia lanjutkan. Tak ada alasan yang kuat untuk membuat Dimas mundur.
Sampailah dihari ketiga namun di Sekolah yang berbeda, Yaitu di SMA H. Tapi dimas merasakan seperti menjadi hari pertama lagi buat Dimas. ia harus berlatih sabar kembali karena harus berhadapan dengan siswa yang berbeda dari sekolah yang berbeda. Dimas sudah siap2 senjata untuk menakhlukkan anak-anak yang mungkin akan meremehkannya. Tentunya bukan pistol atau bom seperti teroris yang membabi buta menyerang orang-orang yang berlawanan pandangan dengannya. Toh dia di sekolah itu hanya tiga bulan, karena menggantikan guru yang sedang cuti melahirkan. Kelas pertama, kelas kedua, semua berjalan dengan lancar. Alhamdulillah...

Matahari mulai malu-malu menunjukkan cahayanya, malam menyambut dengan wajah sedikit murung diikuti mendung yang menggantung hampir tak terhitung. “Apa ya yang terjadi besok?, lebih menyenangkan dari hari ini atau lebih memuakkan untukku?” hanya bisik dalam hati kecil Dimas. Wajah pagi yang cerah itu terlihat antusias menemani langkah Dimas mengawali aktivitas sebagai guru baru. Jadwal hari ini mengajar kelas XI IA 1. Yang muncul di benaknya adalah mereka pasti kritis dan aktif, “Jangan-jangan aku akan dibantai oleh pertanyaan-pertanyaan kritis dari mereka. Ow tidaaaak….!”. jerit sanubari Dimas.

Bel masuk berdenting, Dimas merapikan baju untuk masuk kelas. Dimas melangkahkan kaki di pintu kelas XI IA 1. Di kelas inilah ia merasakan aura yang beda. Wajah mereka terlihat bersahabat sekali dengan Dimas meskipun masih tampak asing bagi mereka. Dengan hati yang sedikit lega Dimas memperkenalkan diri. Tepat di hadapannya terlihat satu siswa akhwat yang membuat Dimas sedikit mengumpat untuk curi-curi pandang padanya. Siswa yang berjilbab putih nampak anggun dan terlihat murah senyum. Senyum siswa itu bukan sembarang senyuman, senyuman yang mendinginkan gelora bara yang mengembara di hati dimas. Dengan rasa penasaran, Dimas mulai mengabsen satu persatu siswa. Selain mengecek kehadiran siswa, alasan lainnnya adalah dengan harapan dapat mengetahui siapa nama yang tertera di balik wajah ayu dan menawan itu. Sampailah pada barisan tengah, Dimas memanggil nama Hanifah widyaasari. Diacungkanlah jari telunjuk itu.  “o… ternyata namanya Hanifah widyaasari to.” Senyum puas dalam batin Dimas.

Dimas beranjak untuk fokus pada pelajaran yang akan dia ajarkan. Di tengah-tengah menjelaskan, siswa yang ia perhatikan sedari tadi itu menanyakan materi yang Dimas ajarkan, sontak membuatnya kaget bukan kepalang. Siswa bernama widya ini ternyata sosok siswa yang aktif dan kritis dalam menerima materi. Bahkan pernah sekali Dimas tak mampu menjawab pertanyaan Widya. Ia pun berusaha menjawab seadanya sambil mengalihkan jawaban. Rasa penasaran Dimas makin menjadi. Hari-hari ia lewati dengan senyum merekah. Setiap pagi jika melihat widya melintas di depan kantor, Dimas merasakan mempunyai semangat baru. Apalagi jika Widya menyapa dengan salam, subhanallah sungguh ibarat padang pasir yang kering kerontang tiba-tiba diguyur hujan seharian. Suaranya yang serak-serak dan agak besar itu mampu meneduhkan hati Dimas. Setiap ia masuk ke kelas Widya pun, ia tidak mampu menahan rasa ingin memandang wajah ayu Widya. Tapi ia juga harus menjaga profesionalisme kerjanya. Ia pun mencoba untuk bersikap biasa.

Bulan kedua sudah hampir habis. Dimas hanya mampu memandangi widya dari jauh. Tidak mungkin ia mendekati kemudian berbincang-bincang selayaknya teman akrab, apa kata siswa dan guru lain nanti? Tak lazim memang apa yang dirasakan dimas, tapi itulah yang terjadi. Ini berbicara soal hati bukan logika. Kadang hati memang tak sejalan bahkan berlawanan dengan logika. Mana yang utama antara hati atau logika? Dimas tak mampu menjawab pertanyaan yang muncul dari batinnya itu.

Tiga bulan hanya tinggal menunggu hari, cepat sekali rasanya bagi dimas untuk segera meninggalkan sekolah itu. Padahal ia mendapatkan banyak sekali pengalaman yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Hasrat hati ingin lebih mengenal widya pun sepertinya akan segera punah hanya tinggal kenangan semata. Dimas sedikit bimbang karena ia belum mengenal banyak tentang Widya, sedangkan nomor ponsel saja belum ada di tangan. Yah apa boleh buat, kini sudah saatnya Dimas meninggalkan SMA H dengan sisa rasa penasaran yang sangat mengakar.

Kini Dimas merantau dengan jarak yang lumayan jauh dari Semarang. Bulan demi bulan terlewati tanpa ada kabar pasti tentang Widya. Rasa ingin tahu itu masih tertancap kuat di dinding otak Dimas. Hingga suatu malam Dimas menghampiri salah satu warung internet di dekat kontrakannya. Seketika dan tanpa ada niat sedikitpun untuk mencari keberadaan widya, tiba-tiba dia teringat bahwa di jejaring sosial ada rekan gurunya di Semarang. Ia segera membuka profil guru itu dan mencari seluruh teman beliau. Subhanallah, Ada gambar akhwat mengenakan jilbab dan berseragam putih bercorak biru kotak-kotak yang terpampang di situs jejaring sosial itu. “Widya?!!!” Spontan Dimas tersentak luar biasa dari kemurungannya. Ditambahkanlah widya sebagai teman di jejaring sosial itu sekaligus mengirimkan pesan dengan menanyakan kabar. Tak butuh waktu 24 jam, Permintaan pertemanan itu pun bersambut. Pesan singkat itu juga di balas. Alhamdulillah di sana Widya baik-baik saja dan tanpa kurang satu apapun. Dengan sangat berhati-hati dan berfikir berulangkali, Dimas berusaha untuk meminta nomor ponsel Widya. Sekali lagi Dimas beruntung dan mendapatkan nomor itu.

Dimas mencoba mengirim pesan singkat pada Widya, namun respon yang Dimas dapatkan biasa saja. Ia merasakan ini hal wajar karena memang belum akrab, lama tak bertemu, dan tak ada komunikasi. Mereka pun saling Tanya kabar, basa-basi, dan hal-hal yang sebenarnya tak penting pun Dimas tanyakan lewat pesan singkat di ponselnya dan lewat situs jejaring sosial dengan harapan ada respon dari Widya. Namun tak lama kemudian, Widya tiba-tiba sedikit bercerita bahwa dia sedang disukai oleh adik kelas di Sekolahnya. Ketika Dimas bertanya tentang perasaan Widya, ternyata Widya juga menyukai adik kelas itu. Dimas berusaha menghela nafas panjang dan berkali-kali. “Sabar-sabar, tabahkan hatimu Dim.” Ceracau gundah hati Dimas.

Pelan-pelan ia berusaha merehatkan hatinya yang telah lelah oleh rasa menengadah dan lama membuncah. Hari-hari ia lalui seperti biasa dan tanpa asa untuk Widya. Beberapa bulan Dimas melangkah di tanah rantau dengan suasana hati yang compang-camping tak jelas. Di malam yang sepi, Dimas menyendiri di kamar dan membuka daftar nama di ponselnya. Di barisan hampir paling bawah, muncullah nama Widya. Ingatan itu kembali menyeruak di pikiran Dimas. Ia mencoba mengecek nomor itu dan ternyata hanya suara operator yang ia dengarkan. Nomor itu sudah tak dipakai lagi. Kembali ia mengunjungi situs jejaring sosial dan menengok profil Widya. Dimas mengirimkan pesan dan menanyakan nomor ponsel Widya. Ternyata memang sudah ganti nomor ponsel, meskipun nomor lama dan nomor baru dua angka terakhirnya sama-sama menggunakan angka 19.

Dimas kembali mengirimkan pesan lewat ponselnya dengan sambil menanyakan statusnya sekarang. Entah dengan berat hati atau biasa saja Widya menjawab bahwa Ia kini sudah sendiri. Dimas kini suda tidak gegabah seperti apa yang dulu ia lakukan. Lewat ponsel mereka saling berbalas pesan singkat dan kadang disemati dengan sedikit canda tawa yang tak pernah terjadi sebelumnya di antara mereka.
Dimas makin percaya diri saja, awalnya hanya berani memanggil “dek” kini menjadi “Adek.” Menurutnya ini sudah sedikit akrab dibandingkan sebelumnya. Sudah selayaknya kakak adek yang saling menggoda dan mengejek satu sama lain, mereka makin dekat saja meskipun hanya lewat pesan singkat atau lewat suara. Namun dibenaknya kini muncul rasa penasaran besar yang hingga sekarang belum terjawab. Bahkan untuk mencari tau jawaban itu Dimas sangat takut. Dari sapaan “kakak” dan “adek” ini, mungkinkah Widya menganggap Dimas sebagai teman biasa, sebagai penghapus jengah semata, sebagai kakak, atau sebagai apa?

Hingga detik ini, belum ada gambaran, bahkan bayanganpun belum dapat terbaca dari isi hati Widya. Apakah asa ini hanya sekedar asa terlunta-lunta atau akan menjadi asa yang kelak menjadi sebuah senyum nyata? Jika melihat realita dan logika, Dimas bukan seperti Raja yang serba berkuasa, berkelimang harta, dan berhak memerintah siapa saja sesuai kemauannya. Dimas bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa selain cinta dan asa. Dari lubuk hati terdalam, Dimas inginkan hal terindah dari rasa penasaran itu. Apapun yang terjadi kelak, Dimas merasa sangat bersyukur karena kehadiran Widya telah membuat hidup Dimas makin berwarna. Widya, hingga saat ini kau masih yang terindah bagi Dimas. Dimas juga berharap setelah Widya tau akan rasa itu, tak ada rasa benci dan marah pada Dimas. Jangan kau salahkan hati yang sedang meniti asa. Semua ini terjadi tanpa sengaja. Dimanapun kau berada, penulis hanya menyampaikan suara hati Dimas semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar