Teguh Dwi Utomo
Untuk sesaat Faruk harus melupakan cerita dongeng yang akan Ia susun malam itu. Cerita tentang sebuah kenangan malam keakraban di Pegunungan. Kenangan yang membuat Faruk terbang dengan ketinggian yang tak terkirakan ketika malam telah turun di hari sabtu. Tepat jam tujuh malam, Faruk tertegun sendiri di bawah pohon rindang yang meneduhi malam. Dua gadis manis itu datang menghampiri Faruk, dan salah satunya memberi senyuman kecil sambil berkata,
“Mas, aku kagum lho sama mas, siapa nama Mas?”
Farukpun tersipu malu, karena sepanjang hidupnya tidak pernah ada seorangpun yang mengaguminya dan menanyakan soal nama. Orang-orang banyak yang memanggilnya dengan sebutan “mak nyuk-nyuk”, (slogan yang dia buat saat OKKA untuk mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi Semarang). Dan Faruk akan mengerti bahwa yang dimaksudkan itu adalah dirinya. Meskipun dia mempunyai nama sendiri yang asing karena tidak ada yang memanggilnya dengan nama itu. Untuk itulah Faruk sangat malu mengatakan ketika gadis itu menanyakan namanya.
“Saya punya nama lain tapi banyak orang memanggil saya “Mak nyuk-nyuk,” kata Faruk sambil tertunduk. Akhirnya teman dari gadis itulah yang mengatakan siapa namanya. Farukpun berjabat tangan dengan gadis itu.
“Atika”, itulah nama indah yang keluar dari bibir manis yang membuat jantung Faruk berdetak kencang. Ternyata tak butuh waktu lama untuk membuat mereka berdua akrab. Mereka juga saling bertukar nomor ponsel.
2 September 2007,
Jam 4 pagi, ponsel Faruk berdering. Ternyata panggilan masuk dari Atika.
“Assalamualaikum...?”
“Wa'alaikumsalam, hai mas Faruk. Bangun Mas sholat subuh dulu.”
“Iya aku sudah bangun. Ya udah, aku sholat subuh dulu. Terima kasih ya sudah dibangunin.”
“Maaf ya mas, Atika mengganggu.”
“Ah, tidak apa-apa.”
Spontan saja hati Faruk sangat bahagia sambil bertanya-tanya. Dia merasa memperoleh semangat hidup baru.
Keakraban telah usai dengan sepenggal kenangan tak terlupakan. Pada pagi hari ketiga, Faruk bertemu lagi dengan Atika di kampus Ungu. Karena mereka satu universitas dan juga satu jurusan, hanya mereka berbeda angkatan. Entah virus apakah yang menghampiri Faruk, sampai-sampai Ia selalu salah tingkah ketika bertemu Atika.
Dengan rasa malu bercampur bahagia, Faruk mengajak kencan Atika untuk makan malam bersama. Dayungpun bersambut, Atika bersedia untuk berkencan.
Senja telah tiba, Faruk berjalan ke cermin kotak di dinding. Tangannya menggenggam sebotol minuman yang dibelinya dari toko swalayan di dekat kos. Diteguknya sedikit cairan itu, lalu ditatapnya cermin tersebut. Dia sudah tak sabar untuk bertemu Atika.
Saat malam membentang dan dihiasi mutiara bintang-bintang, seorang bidadari yang ditunggupun tiba. Dua insan remaja itu mulai melesat dan menikmati indahnya makan malam yang dihiasi lilin-lilin kecil yang menerangi kencan pertama mereka. Seketika setelah makan malam usai, Faruk menatap wajah telanjang Atika. Tanpa diduga, ternyata dia langsung menyatakan cinta. Sebuah kata yang dulu tabu buat dirinya.
Tanpa basa-basi, Atika menjawab dan menerima cinta Faruk. Atika juga melebih-lebihkan Faruk hingga membuat lelaki yang dulunya polos menjadi terbang dengan ketinggian yang tak terkira. Setelah Faruk pulang, Ia mulai berfikir sepertinya ada yang janggal dengan jawaban cinta Atika. Selama hidupnya, baru sekarang Ia menyatakan cinta kepada seorang gadis yang belum lama Ia kenal dan langsung diterima, bahkan dia disanjung-sanjung setinggi langit. Namun Faruk berusaha melupakan perasaan buruknya itu.
Pada pagi yang masih basah, ponsel Faruk berdering keras. Ternyata ada satu pesan diterima.
“Met pagi mas, sudah bangun belum? Cepat bangun, sudah jam enam pagi lho.”
itulah pesan singkat yang menunjukkan rasa perhatian Atika terhadap Faruk. Faruk sangat bahagia, tidak pernah Ia merasakan hal yang seperti ini sebelumnya. Dulu ponsel yang selalu berdiam diri seolah enggan membunyikan suara merdunya, kini hampir setiap waktu selalu menjerit kegirangan. Hari demi hari mulai dijalani dengan saling telepon, sms, dan juga saling berbagi perhatian.
Sabtu, 8 September 2007
waktu penghujung pekan telah datang. Hari masih belum terlalu malam tapi jalanan sudah mulai ramai para pengagum. Bulan mengintip dari gerombolan mendung gelap. Sepasang sejoli berjalan pelan di atas dua rodanya.
Simpang lima adalah tempat utama yang dituju untuk melepas kepenatan selama sepekan. Sinar lampu kota Semarang yang menerangi tempat mereka berjalan mengelilingi pedagang kaki lima. Setelah satu kali penuh mengelilingi Alun-alun, Atika menarik tangan Faruk menuju salah satu penjual sepatu. Dengan wajah serius, Atika mulai memilah dan memilih sepatu yang akan dia beli. Jantung Faruk tiba-tiba berdetak kencang sekali, karena dengan kondisi dia sebagai anak kos, dia saat itu hanya membawa uang lima puluh ribu rupiah. Sepasang sepatu seharga tiga puluh lima ribu rupiah akhirnya Faruk bayar demi kekasihnya tercinta itu. Hati Faruk agak lega karena paling tidak Ia masih mempunyai uang pegangan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Belum terlalu malam bagi sepasang remaja yang sedang menakar cinta.
Mereka melanjutkan malam indah itu ke salah satu tempat yang romantis di Semarang. Pemandangan lampu-lampu hampir di seluruh kota Semarang terlihat jelas dari tempat itu. Tidak lama berselang, Faruk menatap gadis itu, dan dengan hati yang dag dig dug, Dia mengecup wajah telanjang yang ayu menawan itu untuk pertama kalinya. Jiwa mereka mulai terbingkai oleh cinta rembulan.
Dua hari terlewati, tanpa ada angin dan hujan tiba-tiba sikap Atika berubah hampir 100%. Tanpa ada sebab yang pasti, setiap Faruk mengirim pesan singkat lewat ponselnya tidak pernah dibalas Atika. Setiap Faruk mencoba menelpon Atika, ponsel Atika selalu tidak aktif, dan berkali-kali Faruk menghampirai kekos, Ia selalu mendapatkan jawaban yang sama dari temannya, “Atika nggak ada, Dia sedang pergi nngak tau kemana.”
Taka ada yang bisa dilakukan Faruk selain berharap, berharap, dan berharap bahwa tidak ada apa-apa dengan Atika.
Selasa malam tanggal 11 September, ketika malam mulai terasa sunyi, dengan hati gundah dia melihat sepasang remaja yang berboncengan mesra melintas di depan kosnya. Hati Faruk seketika mulai seperti ditepuk halilintar. Ternyata gadis yang disaksikannya itu adalah Atika. Entah kenapa Dia harus melihat pemandangan yang pahit itu. 30 menit berlalu, ponsel Faruk berdering, setelah Ia buka pesan itu, ternyata ada satu pesan yang menyayat hati Faruk.
“Maaf Mas, aku harus mengakhiri semua ini. Karena demi kebaikan kita berdua!!!!!!!!”
dengan hati yang seakan menangis, Faruk membalas sms Atika dengan menanyakan penyebab Atika menulis sms itu. Namun apa yang didapat Faruk?Ia malah mendapat makian.
“Mas, kalo mimpi jangan tinggi mas!!!! kalo jatuh sakit lho. Masih banyak cewek lain yang sudi dengan mas!!!!”
itulah kata-kata pedas yang didapat Faruk. Hatinya terasa compang-camping. Ia tak tahu lagi harus berkata apa dan berbuat apa. Akhirnya sambil meratapi nasib, Ia mencoba menulis puisi di selembar kertas kumuh. Ia mencoba ganti-ganti judul dan berusaha untuk bernegosiasi dengan setiap lembar-lembar kenangannya bersama Atika, namun Ia tidak mendapatkan satu katapun untuk menorehkan tintanya di atas selembar kertas itu.
Satu hari terlewati tanpa sandaran yang pasti. Dalam gelap malam, saat semua tertidur lelap, Faruk duduk sendiri, kadang menyanyi dan kadang berteriak. Ia baru menyadari, ketololan telah membangunkannya. Karena Ia adalah seorang pemabuk cinta.
Awal pekan mulai datang menjemput kepongahan Faruk. Seperti senin-senin sebelumnya, Ia mulai menjalankan aktivitas sebagai pelajar di kampus ungunya. Tanpa disengaja, di anak tangga kelima, Faruk bersimpangan dengan mantan kekasih sepekannya itu. Seperti tanpa rasa berdosa sedikitpun, Atika tertawa dan menyapa Faruk.
“Hai Mas, bukunya mau diambil kapan?”
Karena memang beberapa buku novel dan Faruk dipinjam Atika sebelum mereka putus pacaran. Dengan raut muka yang berpura-pura tegar, Faruk menjawab dengan nada santai.
“O....bukunya kuambil ntar sore aja ya.”
Pada saat itu sebenarnya Faruk ingin berbicara serius kepada Atika tentang keputusannya yang merobohkan hatinya itu. Tapi melihat wajah yang tak berdosanya itu, Faruk mulai enggan untuk berbicara dengannya. Terus terang pada saat itu sulit baginya untuk mengeluarkan kata-kata dari bibirnya. Semenjak saat itu, mereka mulai jarang bertemu. Sampai sekarangpun buku yang dipinjam Atika belum berpindah ke tangan Faruk. Karena sudah lebih dari lima kali Faruk ke kos Atika, tidak pernah Ia bertemu sekalipun.
Entah mengapa hidup Faruk bagaikan dalam dongeng. Dongeng yang berbau mimpi buruk. Ia merasa hidupnya hanya ada warna buram apa adanya. Seumur hidup baru sekali itu Ia dipermainkan perempuan dalam waktu satu minggu.
Farukpun tersipu malu, karena sepanjang hidupnya tidak pernah ada seorangpun yang mengaguminya dan menanyakan soal nama. Orang-orang banyak yang memanggilnya dengan sebutan “mak nyuk-nyuk”, (slogan yang dia buat saat OKKA untuk mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi Semarang). Dan Faruk akan mengerti bahwa yang dimaksudkan itu adalah dirinya. Meskipun dia mempunyai nama sendiri yang asing karena tidak ada yang memanggilnya dengan nama itu. Untuk itulah Faruk sangat malu mengatakan ketika gadis itu menanyakan namanya.
“Saya punya nama lain tapi banyak orang memanggil saya “Mak nyuk-nyuk,” kata Faruk sambil tertunduk. Akhirnya teman dari gadis itulah yang mengatakan siapa namanya. Farukpun berjabat tangan dengan gadis itu.
“Atika”, itulah nama indah yang keluar dari bibir manis yang membuat jantung Faruk berdetak kencang. Ternyata tak butuh waktu lama untuk membuat mereka berdua akrab. Mereka juga saling bertukar nomor ponsel.
2 September 2007,
Jam 4 pagi, ponsel Faruk berdering. Ternyata panggilan masuk dari Atika.
“Assalamualaikum...?”
“Wa'alaikumsalam, hai mas Faruk. Bangun Mas sholat subuh dulu.”
“Iya aku sudah bangun. Ya udah, aku sholat subuh dulu. Terima kasih ya sudah dibangunin.”
“Maaf ya mas, Atika mengganggu.”
“Ah, tidak apa-apa.”
Spontan saja hati Faruk sangat bahagia sambil bertanya-tanya. Dia merasa memperoleh semangat hidup baru.
Keakraban telah usai dengan sepenggal kenangan tak terlupakan. Pada pagi hari ketiga, Faruk bertemu lagi dengan Atika di kampus Ungu. Karena mereka satu universitas dan juga satu jurusan, hanya mereka berbeda angkatan. Entah virus apakah yang menghampiri Faruk, sampai-sampai Ia selalu salah tingkah ketika bertemu Atika.
Dengan rasa malu bercampur bahagia, Faruk mengajak kencan Atika untuk makan malam bersama. Dayungpun bersambut, Atika bersedia untuk berkencan.
Senja telah tiba, Faruk berjalan ke cermin kotak di dinding. Tangannya menggenggam sebotol minuman yang dibelinya dari toko swalayan di dekat kos. Diteguknya sedikit cairan itu, lalu ditatapnya cermin tersebut. Dia sudah tak sabar untuk bertemu Atika.
Saat malam membentang dan dihiasi mutiara bintang-bintang, seorang bidadari yang ditunggupun tiba. Dua insan remaja itu mulai melesat dan menikmati indahnya makan malam yang dihiasi lilin-lilin kecil yang menerangi kencan pertama mereka. Seketika setelah makan malam usai, Faruk menatap wajah telanjang Atika. Tanpa diduga, ternyata dia langsung menyatakan cinta. Sebuah kata yang dulu tabu buat dirinya.
Tanpa basa-basi, Atika menjawab dan menerima cinta Faruk. Atika juga melebih-lebihkan Faruk hingga membuat lelaki yang dulunya polos menjadi terbang dengan ketinggian yang tak terkira. Setelah Faruk pulang, Ia mulai berfikir sepertinya ada yang janggal dengan jawaban cinta Atika. Selama hidupnya, baru sekarang Ia menyatakan cinta kepada seorang gadis yang belum lama Ia kenal dan langsung diterima, bahkan dia disanjung-sanjung setinggi langit. Namun Faruk berusaha melupakan perasaan buruknya itu.
Pada pagi yang masih basah, ponsel Faruk berdering keras. Ternyata ada satu pesan diterima.
“Met pagi mas, sudah bangun belum? Cepat bangun, sudah jam enam pagi lho.”
itulah pesan singkat yang menunjukkan rasa perhatian Atika terhadap Faruk. Faruk sangat bahagia, tidak pernah Ia merasakan hal yang seperti ini sebelumnya. Dulu ponsel yang selalu berdiam diri seolah enggan membunyikan suara merdunya, kini hampir setiap waktu selalu menjerit kegirangan. Hari demi hari mulai dijalani dengan saling telepon, sms, dan juga saling berbagi perhatian.
Sabtu, 8 September 2007
waktu penghujung pekan telah datang. Hari masih belum terlalu malam tapi jalanan sudah mulai ramai para pengagum. Bulan mengintip dari gerombolan mendung gelap. Sepasang sejoli berjalan pelan di atas dua rodanya.
Simpang lima adalah tempat utama yang dituju untuk melepas kepenatan selama sepekan. Sinar lampu kota Semarang yang menerangi tempat mereka berjalan mengelilingi pedagang kaki lima. Setelah satu kali penuh mengelilingi Alun-alun, Atika menarik tangan Faruk menuju salah satu penjual sepatu. Dengan wajah serius, Atika mulai memilah dan memilih sepatu yang akan dia beli. Jantung Faruk tiba-tiba berdetak kencang sekali, karena dengan kondisi dia sebagai anak kos, dia saat itu hanya membawa uang lima puluh ribu rupiah. Sepasang sepatu seharga tiga puluh lima ribu rupiah akhirnya Faruk bayar demi kekasihnya tercinta itu. Hati Faruk agak lega karena paling tidak Ia masih mempunyai uang pegangan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Belum terlalu malam bagi sepasang remaja yang sedang menakar cinta.
Mereka melanjutkan malam indah itu ke salah satu tempat yang romantis di Semarang. Pemandangan lampu-lampu hampir di seluruh kota Semarang terlihat jelas dari tempat itu. Tidak lama berselang, Faruk menatap gadis itu, dan dengan hati yang dag dig dug, Dia mengecup wajah telanjang yang ayu menawan itu untuk pertama kalinya. Jiwa mereka mulai terbingkai oleh cinta rembulan.
Dua hari terlewati, tanpa ada angin dan hujan tiba-tiba sikap Atika berubah hampir 100%. Tanpa ada sebab yang pasti, setiap Faruk mengirim pesan singkat lewat ponselnya tidak pernah dibalas Atika. Setiap Faruk mencoba menelpon Atika, ponsel Atika selalu tidak aktif, dan berkali-kali Faruk menghampirai kekos, Ia selalu mendapatkan jawaban yang sama dari temannya, “Atika nggak ada, Dia sedang pergi nngak tau kemana.”
Taka ada yang bisa dilakukan Faruk selain berharap, berharap, dan berharap bahwa tidak ada apa-apa dengan Atika.
Selasa malam tanggal 11 September, ketika malam mulai terasa sunyi, dengan hati gundah dia melihat sepasang remaja yang berboncengan mesra melintas di depan kosnya. Hati Faruk seketika mulai seperti ditepuk halilintar. Ternyata gadis yang disaksikannya itu adalah Atika. Entah kenapa Dia harus melihat pemandangan yang pahit itu. 30 menit berlalu, ponsel Faruk berdering, setelah Ia buka pesan itu, ternyata ada satu pesan yang menyayat hati Faruk.
“Maaf Mas, aku harus mengakhiri semua ini. Karena demi kebaikan kita berdua!!!!!!!!”
dengan hati yang seakan menangis, Faruk membalas sms Atika dengan menanyakan penyebab Atika menulis sms itu. Namun apa yang didapat Faruk?Ia malah mendapat makian.
“Mas, kalo mimpi jangan tinggi mas!!!! kalo jatuh sakit lho. Masih banyak cewek lain yang sudi dengan mas!!!!”
itulah kata-kata pedas yang didapat Faruk. Hatinya terasa compang-camping. Ia tak tahu lagi harus berkata apa dan berbuat apa. Akhirnya sambil meratapi nasib, Ia mencoba menulis puisi di selembar kertas kumuh. Ia mencoba ganti-ganti judul dan berusaha untuk bernegosiasi dengan setiap lembar-lembar kenangannya bersama Atika, namun Ia tidak mendapatkan satu katapun untuk menorehkan tintanya di atas selembar kertas itu.
Satu hari terlewati tanpa sandaran yang pasti. Dalam gelap malam, saat semua tertidur lelap, Faruk duduk sendiri, kadang menyanyi dan kadang berteriak. Ia baru menyadari, ketololan telah membangunkannya. Karena Ia adalah seorang pemabuk cinta.
Awal pekan mulai datang menjemput kepongahan Faruk. Seperti senin-senin sebelumnya, Ia mulai menjalankan aktivitas sebagai pelajar di kampus ungunya. Tanpa disengaja, di anak tangga kelima, Faruk bersimpangan dengan mantan kekasih sepekannya itu. Seperti tanpa rasa berdosa sedikitpun, Atika tertawa dan menyapa Faruk.
“Hai Mas, bukunya mau diambil kapan?”
Karena memang beberapa buku novel dan Faruk dipinjam Atika sebelum mereka putus pacaran. Dengan raut muka yang berpura-pura tegar, Faruk menjawab dengan nada santai.
“O....bukunya kuambil ntar sore aja ya.”
Pada saat itu sebenarnya Faruk ingin berbicara serius kepada Atika tentang keputusannya yang merobohkan hatinya itu. Tapi melihat wajah yang tak berdosanya itu, Faruk mulai enggan untuk berbicara dengannya. Terus terang pada saat itu sulit baginya untuk mengeluarkan kata-kata dari bibirnya. Semenjak saat itu, mereka mulai jarang bertemu. Sampai sekarangpun buku yang dipinjam Atika belum berpindah ke tangan Faruk. Karena sudah lebih dari lima kali Faruk ke kos Atika, tidak pernah Ia bertemu sekalipun.
Entah mengapa hidup Faruk bagaikan dalam dongeng. Dongeng yang berbau mimpi buruk. Ia merasa hidupnya hanya ada warna buram apa adanya. Seumur hidup baru sekali itu Ia dipermainkan perempuan dalam waktu satu minggu.
♥♥♥♥♥♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar