PENANTIAN TAK TERMENANGKAN
Teguh Dwi Utomo
Katamu, penantian adalah pekerjaan yang sia-sia yang tidak boleh dilakukan seorang laki-laki. Mungkin akulah yang tergolong sia-sia. Sekian lamanya aku tetap berada di pinggir hutan yang lengang, ketika para lelaki telah mengantri di halte di pinggir jalan yang sangat ramai lalu lalang roda-roda kehidupan, seperti perayaan karnaval setahun sekali di awal tahun. Masih teringat persis, 17 September 2002 saat pembagian kelas di SMA yang telah aku nanti-nantikan. Seakan semangat ini membera seperti ingin menjadi majorette yang memimpin barisan marching band. Aku yakin akan berdiri di sana dengan putih abu-abu dan melambaikan tangan ke belakang. Sekejap, wajah seorang gadis dengan gigi tertata rapi berpaling ke arahku dengan memberi seulas senyuman yang maha manis. Mataku ikut berjalan ke belakang menyesuaikan kemana arah barisannya. Aku hanya terpana ketika dia masuk kelas yang gaduh dan gemuruh. Dia sudah tepat berada di depanku. Sungguh, aku tak menyangka ternyata dia satu kelas denganku. Sehari terlewati dengan menyenangkan seperti mendapatkan inspirasi dalam bait puisi. 20 September adalah saat Masa Orientasi Siswa. Dalam saat-saat seperti ini, adalah sesuatu yang yang menegangkan ketika saya harus dihadapkan dengan dua makhluk lain, yaitu masa orientasi siswa dan bidadari yang membuat jantung yang tak mau lelah berdegup. Bel berbunyi, para siswapun memasuki kelas. Diapun mulai menapaki kelas dengan langkah kecil memakai sepatu cantik, namun tak seperti Cinderella. Pria-pria bagai para prajurit dan pangeran bergerak kesana-kemari dan sempat menggoda perempuan-perempuan yang menawan. Tapi tak ada seorangpun yang melihatku. Pada saat materi menulis, aku tidak membawa pena. Aku mulai kebingungan menengok kanan-kiri, depan-belakang. Tapi entah ada angin segar dari mana tiba-tiba gadis cantik itu menawarkan untuk meminjamkan penanya. Ternyata, selain parasnya yang cantik, hatinyapun seperti emas. Aku semakin kagum padanya. Tak salah lagi aku memilih dia sebagai seorang yang beda dengan gadis lain. Waktu istirahat telah tiba. Pena yang sedari tadi berada di tanganku, harus kukembalikan. Saat aku mengembalikan pena itu, tak ada salahnya aku mencoba menanyakan namanya. Diapun mengulurkan tangan dan mengajak berjabat tangan. Ternyata namanya adalah Widya Oktaviani, panggil saja Widya. Tak berlama-lama, aku langsung beranjak ke kantin. Karena jantungku terasa dag dig dug ketika ada di dekatnya. Semakin lama di dekat Widya, maka akan semakin banyak salah tingkah. Entah pertanda apakah ini, gundah dan gaulana selalu datang menghantuiku. Wajah yang berkeringat, namun tetap berusaha tegar di tengah pergulatan batin yang tak putus mendera. Sehari, dua hari, tiga hari, waktu-waktu yang selalu kumanfaatkan untuk mencuri perhatian Widya. Dan disaat aku mencari perhatian, Widya selalu tersenyum. Entah senyuman itu respon, atau tersenyum geli melihat tingkahku. Hanya dia yang tau. ”Witing tresno jalaran soko kulino”, itulah kata pepatah Jawa yang sedang melandaku. Hari-hari kulewati dengan pertemanan yang menyenangkan. Aku telah larut dalam rasa yang tak terkatakan ini. Mungkin inlah yang disebut jatuh cinta. Namun rasa itu terasa hambar kalau tak kuungkapkan. Rasa takut, rasa malu, dan minder selalu menemani keseharianku. Aku juga tak mengerti mengapa aku terlahir sebagai insan pemalu dan penakut. Disaat-saat aku sedang bimbang menakar kekuatanku untuk berkata-kata, ternyata ada sosok lelaki yang datang menjadi pesaing utamaku dalam pertempuran ini. Tak lain dia adalah temanku sendiri. Dewan, seorang lelaki yang menganggap dirinya pejantan tangguh. Tapi bagiku dia hanyalah tipe lelaki yang egois, pemarah, dan pencemburu. Dia tak ingin ada seorangpun yang melebihinya. Sepulang dari sekolah, ada tiga lelaki yang bermuka tajam menghadangku di jalan. Kemudian mereka mengancamku dengan kata-kata pedasnya. ”Hei....!!!!” ”Guh, awas kalau kamu besok masih mendekati Widya!!!” Itulah ancaman yang terlontar dari mulut angkuhnya yang ingin menang sendiri. Sehari kemudian aku masih saja jalan bersama Widya, dan Dewan mengetahuinya. Tanpa ampun lagi, pada waktu pulang sekolah aku dipukuli hingga wajahku memar. Sesampainya di rumah, dengan wajah terkejut, Ibuku memandangi mukaku. ”Nak, kenapa wajahmu kok ancur begitu?” ”kamu habis berkelahi ya?” Ibuku curiga, seolah-seolah Beliau mengira anaknya yang pendiam berubah menjadi berandalan. Namun aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya berkata kalau aku hanya terpeleset di kamar mandi sekolah. Untuk waktu dekat itu, aku mencoba menjaga jarak dengan Widya. Akan tetapi makin aku menjaga jarak, rasa ini justru makin mendalam. Lagi-lagi bel pulang sekolah kembali berbunyi. Dengan wajah harap-harap cemas, aku pulang sendiri tanpa teman yang mendampingi. Di sudut kiri jalan aku melihat paras bidadari yang berwajah cemas. Ternyata gadis itu adalah Widya. Aku datang menghampirinya. ”Widya, kenapa berhenti di sini?” ”Banku kempes Guh.” (kata Widya sambil memasang wajah paniknya). ”Ya udah, sini biar aku yang bawa sepeda motormu. Kamu naik motorku saja.” ”Bener nih? Terima kasih ya Guh.” Akupun menuntun sepeda motor ke tukang tambal ban. Sambil menunggu tukang tambal ban yang menyelesaikan tugasnya, aku berusaha berbincang-bincang dengan Widya sambil melepas lelah. Ternyata Dia sangat asik untuk dijadikan teman sekaligus tempat berbagi cerita. Tukang tambal ban telai usai melaksanakan tugasnya, aku dan Widya bergegas pulang. Widya mengajakku untuk mampir ke rumahnya. Sampailah aku di rumahnya, dia menyuguhkan segelas air putih untuk pelepas dahagaku. Lima belas menit berlalu dengan perbincangan. Dia menatap taman di depan rumahnya. Lalu Widya berdiri dan menggandeng tanganku menuju taman indahnya. Kemudian dia memetik setangkai bunga mawar merah di antara segerombolan bunga-bunga cantik di tamannya. Aku perhatikan, dia mencium bunga yang dipetiknya itu dan berjalan menuju ke arahku. Dengan sekejap perasaanku was-was dan tubuhku mulai berkeringat. Semakin mendekat, mendekat, dan mendekat dia menyerahkan sekuntum mawar yang merah merekah semerah bibirnya yang tipis itu kepadaku. ”Guh, ini sebagai tanda ucapan terima kasihku karena kamu sudah membantuku dan menemaniku” Gugup dan gagaplah aku. Sepertinya jantung ini mau copot. Setelah aku pulang, mawar merah itu selalu kupandangi dan sambil sesekali menciuminya. Aku merasa ada yang bergetar pelan dalam dadaku setiap teringat kata-kata manis itu. Sepertinya cinta telah mengalahkanku. Sehingga jiwaku menjadi rapuh dan tak mampu mengungkapkan kata cinta untuk bidadari pujaan. Aku hanya bisa menjadi pemuja rahasia. Bahkan sampai pengumuman kelulusan keluarpun, aku masih saja terdiam. Beberapa bulan setelah lulus SMA, tak ada lagi yang tersisa untuk kukenang dari sebuah desa yang setia menunggu hujan reda itu. Cinta memang sesuatu yang pelik dan rumit untuk dimengerti. Itulah yang kurasakan setelah membaca sepucuk surat dalam amplop kuning yang dialamatkan kepadaku. Terlalu banyak yang terjadi dalam waktu tiga tahun setelah aku berpisah dengannya. Isi surat itu tertuliskan bahwa dulu ketika masa-masa bersama denganku, Ia mengharapkan kehadiranku dalam hidupnya. Ternyata Widya juga merasakan hal yang sama denganku ketika SMA. Namun apa daya, semuanya telah tertebas oleh waktu. Pada paragraf kedua surat itu mengabarkan bahwa Ia akan bertunangan dengan seorang pria demi kesempurnaan egoisme orang tuanya, dan bukan untuk mimpinya tentang sebuah kesempurnaan yang hakiki. Berat rasanya untuk mempercayai kenyataan bahwa masih ada orang tua yang harus ikut campur dalam menentukan alur hidup anaknya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Siapa yang tidak terpukul dan nelangsa ketika mendapat kabar seorang yang pernah dicintainya pada suatu masa akan melangkah ke pelaminan. Cinta telah mengalahkan segalanya. Kini aku tengah menikmatinya seorang diri di kota ini, mencari jejak-jejak yang tertinggal dan tak sempat kualamatkan pada bait-bait puisi. ”Aku rindu!!!!” Yah, itulah kata yang keluar dari hatiku saat ini untuk gadis pujaanku. Adakah yang lebih indah dari cinta?
☺☺☺☺☻☻☻☻
1 komentar:
melow banget sih....
Posting Komentar